Harapan Kaum Pemalas
*Fajri Al Mughni
Fahrudin Faiz mengutif quotenya Immanuel Kant; “sistem filsafatku itu sebenarnya menjawab tiga pertanyaan saja”. What can I know, what ought I to do dan what may I hope.
Ngomongin kaum pemalas saja sok-sokan pake Bahasa Inggris pulak. Tapi tenang, Bahasa inggrisnya cuma segitu saja. Kalau kebanyakan takut semakin banyak anggota kaum pemalas ini.
Tanpa disadari ternyata orang-orang yang sering dilabeli pemalas mengimani dan mengamalkan filsafat hidupnya Immanuel Kant.
What can I know? Kira-kira Indonesianya begini; apa yang aku tau?
Kaum pemalas punya trik dan jalan hidupnya sendiri. Mereka mampu menuliskan berpuluh-puluh halaman terkait apa saja yang mereka tau. Atau kalau malas menulis, mereka mampu menerawang dan menghayalkan setiap hal yang mereka tau. Termasuk menerawang yang mungkin bagi sebagian orang haram untuk diterawang. Namun bagi mereka, tidak ada satupun di dunia ini yang berhak untuk melarang mereka berhayal.
Tapi paling tidak, pertanyaan ini menunjukkan bahwa orang-orang yang pemalas memiliki kualitas melalui identitas dan integritas. Mereka tidak akan bicara atau menulis tentang hal yang tidak diketahui. Kata mereka, “aku malas ngomongin itu”. Dulu Imam Malik bin Anas telah mencontohkan itu. Hanya versi bahasanya saja yang berbeda.
What ought I to do?
Mungkin ada yang malas mencari arti kalimat itu. Ini saya Indonesiakan; Apa yang harus aku lakukan?
Wah ini tentu akan memunculkan beragam usulan terkait anda sedang mengambil posisi sebagai apa. Sebagai umat yang beragama, sebagai mahasiswa, sebagai guru, atau sebagai pengangguran. Tapi tidak sedikit juga orang yang galau ketika pertanyaan ini muncul. Lantas Bingung mau ngapain, galau mau memilih yang mana sementara pilihan itu tidak ada.
Ada yang mencoba berkonsultasi kepada guru, pejabat, orang kaya, petani, buruh, pengangguran dan bahkan banyak yang datang kepada orang gila. Gila memang.
Sebenarnya tidak susah-susah amat. Kembalikan saja kepada pertanyaan pertama, apa yang aku tau? Artinya, jika hal itu tidak diketahui, tinggalkan saja. Sederhananya, lakukan yang anda tau. Itupun kalau tidak malas. Kalau malas, abaikan. “yang saya tau tiduran dikasur”. Ya sudah.. mainkan. Atau “saya kok bawaannya ngantuk terus”. Lah trus masalahya dimana? Kan tinggal tidur. Tapi kan nanti kerjaan tidak selesai? Plis deh.. dari jaman Wak Hasan mandi dijamban, sampai sekarang Wak Ning mandi berendam dalam di Bathtub tidak ada pekerjaan yang selesai.
Sebelum new normal kemarin, kaum pemalas bergembira-ria, bersorak-sorai, meski mereka tau bahwa itu euforia sesaat. Mereka tidak peduli. Menikmati kebahagiaan merupakan obat dari segala penyakit. Maka rugi jika moment bahagia tak dirayakan. Tinggal lagi bagaimana cara merayakannya. Saya misalnya, merayakan momen bahagia dengan cara tidur.
What may I hope? Apa yang bisa aku harapkan?
Bagian terakhir ini sepertinya menjadi ujung tombak dari filosofi kaum pemalas. Tapi kita tidak boleh meremehkan harapan-harapan mereka ini. Karena mereka kaum pemalas merupakan orang-orang yang penuh integritas. Merekalah manusia berkualitas yang sebenarnya. Rumus pertama mereka dalam berharap adalah mencari relevansinya dalam kehidupan nyata.
Orang-orang pemalas mejadikan harapan sebagai pegangan utama. Fahrudin Faiz mengutif lagi quotenya Maria Popova; critical thinking without hope is cynicism. Hope without critical thinking is naivete.
Kira-kira begini artinya, Berfilsafat, berpikir kritis, mengkritisi orang lain, gagasan orang lain atau gagasan sendiri tapi membuang harapan, itu dapatnya cuma sinis alias nyinyir. Tapi jika hanya ngasih harapan saja namun tanpa kritik itu namanya naif.
Kalau begitu harapan yang bagaimana eloknya?
Kita belajar berharap dari kaum pemalas. Begini; berharaplah terhadap sesuatu yang diyakini relevansinya dalam kehidupan nyata. Meskipun bisa terjadi, bisa tidak. Minimal kemungkinan itu ada. Misalnya, hari ini saya akan mancing belut pada lubang yang telah pernah dipancing oleh orang lain seminggu yang lalu. Kan bisa jadi belutnya ada, bisa jadi tidak ada.
Atau yang lebih besar kemungkinannya begini; sekarang sedang musim hujan, setiap sore langit gelap, menjelang magrib biasanya hujan turun. Bulan depan mau menikah, calonnya sudah ada, tanggalnya sudah ditentukan, undangan sudah siap. Kemudian langsung berharap, “semoga nanti pas nikah duduk besanding dengan perempuan cantik, dan malamnya hujan deras”.
Jangan berharap terhadap hal yang tidak mungkin. Misalnya, “mudah-mudahanlah nilai saya pada semester ini IP nya 4. Meskipun tidak ikut ujian semua mata kuliah”. Kalau begini dijamin harapanmu sia-sia.
Salam Kalam Literasi
Artikel ini terinspirasi dari kajiannya Dr. Fahrudi Faiz.
Jambi, 7 Agustus 2020