Membantah Perintah Nabi

Membantah Perintah Nabi

Saya yakin, hampir semua pegiat literasi keislaman, entah dari kalangan muslim tulen ataupun orientalis, pasti tau, atau paling tidak, pernah mendengar, kisah sekelompok Sahabat yang dikirim Nabi Saw. ke sebuah perkampungan Yahudi bernama Bani Quraizah. Tidak hanya dikirim, dalam kisah legendaris yang haditsnya 𝒎𝒖𝒕𝒂𝒘𝒂𝒕𝒊𝒓/mutawatir itu, para Sahabat juga diperintah untuk melaksanakan shalat Ashar disana.

Nah, terjadi masalah diperintah Nabi ini.

Batas waktu shalat Ashar yang hampir habis, sedang para Sahabat belum juga tiba di Bani Quraizah, dengan cepat memecah mereka menjadi dua kelompok yang mendukung dua pendapat dalam menginterpretasi perintah Nabi Saw. tersebut; ada pendapat yang bersikukuh shalat Ashar di Bani Quraizah apapun yang terjadi, dan ada pendapat yang bersikukuh shalat Ashar di perjalanan karena waktu shalat Ashar sudah hampir habis.

Rasionalisasi pendapat pertama adalah, bahwa perintah itu secara tekstual ‘meminta’ setiap orang untuk shalat di Bani Quraizah, yah itu artinya memang harus shalat disana bukan ditempat lain. Berani ente membantah perintah Rasul? Kwalat ente! Kira-kira begitu!

Sedang, rasionalisasi pendapat kedua adalah ‘maksud/tujuan’ perintah Sang Pembawa Rahmat. ‘meminta’ para Sahabat ‘bergegas’ ke Bani Quraizah, bukan ‘bermaksud’ menunda shalat Ashar hingga habis waktu shalat, bukan, kita tidak sedang membantah Nabi, tapi mencoba meng-kontekstualis-asikan perintah dengan keadaan. Kira-kira begitu!

Well, menurut perawi, ketika para Sahabat itu kemudian melaporkan apa yang mereka alami kepada Nabi, justru Nabi dengan tegas meneguhkan kebenaran kedua opini para sahabat-sahabatnya itu, Nabi tidak menyalahkan. Ingat, Nabi TIDAK menyalahkan.

Apa yang menarik dari kisah ini?

Bahwa 𝒕𝒂𝒌𝒓𝒊𝒓/ketetapan Nabi, sebagaimana pendapat para fakih dan ulama, menunjukkan berbeda sudut pandang dalam menginterpretasi perintahnya adalah sesuatu yang wajar, bahkan, bukan hanya wajar malah, pasti. Ya, berbeda itu pasti, berbeda itu niscaya!

Oh, kisah ini populer, haditsnya berderajat mutawatir, namun ternafikan.

Salam kalam literasi

J. Mohammad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

BacaanTerkini

Pen Besi di Kaki Ibu Siti, dan Besi Tumpul di Kepala Pejabat Negeri
Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen ...
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu ...
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Di tanah Merangin dan Sarolangun yang ...

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Proyek Historiografi DAHA
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024
Persiapan Menuju Negeri Piramida 2025