Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun. KH. M. Burhan Jamil MY atau Abi Burhan meninggal dunia hari ini, 12 September 2020. Kami masih ingin terus bersama abi, tapi Allah berkehendak lain. Abi lebih dulu dipanggil menghadap-Nya.
Saya bukan alumni Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwidin (Romu), tapi paling tidak saya pernah bersilaturahim ke sana. Saya dijamu makan siang oleh Abi Burhan dan keluarga. Sehari memang, tapi ilmu dan nasihat dari abi Burhan membuat saya serasa telah menjadi santrinya bertahun-tahun.
Saya dan teman-teman yang waktu itu datang bersilaturahim benar-benar dimuliakan. Padahal jelas, bahwa kami datang sebagai santri. Bukan tamu.
Ada empat hal yang sangat berkesan ketika berkunjung kerumah Abi Burhan.
Pertama:
Abi Burhan adalah pribadi yang sederhana. Waktu itu, beliau memang mengenakan baju yang berkantong safari, elegan dan kelihatan mahal. Tapi ketika beliau bicara, ke-tawadhuan, kelemah-lembutan dan nasihat-nasihat ilmu-lah yang terpancar darinya. Bahkan ketika mendengar semua nasihatnya, saya merasa menjadi manusia paling tak berdaya.
Salahsatu kalimat yang saya ingat, “Pondok ini kami dirikan berawal dari keresahan akan sebuah pendidikan. Dulu, orang kampung disini kesusahan kalau mau menuntut ilmu. Karena biayanya mahal. Tapi hadirnya Pondok ini, kemudian menjadi solusi bagi masyarakat. Biayanya kami buat semurah-mungkin. Agar siapa saja bisa menuntut ilmu. Bahkan tidak sedikit dari santri yang digratiskan”.
Kesan Kedua:
Abi Burhan telah sukses mencetak para generasi yang handal. Santri-santri itu tidak hanya good looking, tapi juga fasih serta hafal Al-Quran. Saya kira, para santri hanya dituntut untuk mengapal Al-Quran, tapi ternyata, mereka mampu berkomunikasi menggunakan Bahasa Arab dan Inggris dengan baik, benar dan lancar. Hal ini teruji, bukan hanya cuap-cuap iklan semata. Kami langsung menyaksikan “atraksi” 3 orang santri yang masih kecil, satu orang masih TK, dua orang SD. mereka telah hapal lebih dari 5 juz. Hapalnya tidak main-main, boleh di uji bolak balik. Subhanallah.
Kami datang bersama seorang Syaikh yang berasal dari Ghaza, Palestina, Syaikh Sya’ban dan seorang Teacher yang benar-benar menguasai Bahasa Inggris, Mr. Ali Abdurrahman. Di Ponpes Romu, sejatinya Syaikh Sya’ban tak perlu lagi penerjemah. Karena bagi santri, Bahasa Arab adalah Bahasa percakapan mereka sehari-hari. Mr. Ali sempat berdiri dan mengajak para santri berkomunikasi menggunakan Bahasa inggris. Hasilnya, Mr. Ali geleng-geleng kepala. Karena mereka meladeni setiap kata Mr. Ali. Para santri dan Mr. Ali saling melempar kalimat. Saya yang menyaksikan itu, seolah sedang berada di kampung Inggris. Abi Burhan mengangguk, sambil sesekali tersenyum bangga melihat santri-santrinya.
Kesan ketiga:
Kami dijamu makan siang dengan menu istimewa. Ada goreng udang, nasi minyak, ayam dengan varian masakan, kari kambing, dan lainnnya. Menu-menu seperti itu biasanya hanya disajikan kepada para pejabat saja, atau mungkin saat prasmanan acara pengantin. Tapi ini tidak. Kami yang datang sebagai santri, pun dijamu dengan menu seperti itu. Sempat terpikir jangan-jangan makanan ini bukan untuk kami. Tapi saya tidak sempat berpikir lama, karena Abi Burhan mempersilahkan kami makan.
Kesan keempat:
Dari tiga hal yang berkesan di atas, kesan keempat ini sifatnya pribadi. Sebelum kami berpamitan pulang, Abi Burhan memberi saya hadiah sebuah peci. Peci yang bertuliskan logo Nahdhatul Ulama. Logo itu berwarna kuning emas. Demi Allah, saya sangat bangga diberi hadiah itu, apalagi diberikan langsung oleh Abi Burhan. Mendengar kepergian beliau, menetes air mata ini. Doa kami selalu tercurah untukmu Abi. Surga Firdaus menantimu.
Selamat jalan Abi Burhan, KH. M. Burhan Jamil MY. Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Mujawidin, Rimbo Bujang.
Salam kalam literasi
Fajri Al Mughni
12 September 2020. Kami berduka