3 Hari di Jakarta, serasa 3 Tiga Bulan
Semenjak pandemi covid melanda dunia, gerak manusia di muka bumi terbatas, terbatas untuk berpergian. Dua tahun lebih saya tidak naik pesawat, yang biasanya minimal satu, dua sampai tiga kali. Untuk itu, naik pesawat kali ini terasa sangat istimewa. Rasa istimewa itu sebenarnya bukan hanya karena telah lama tidak naik pesawat, namun karena latar belakang saya sebagai orang dusun, kolot, kampungan yang bangga kalau bisa naik pesawat. Mohon dimaklumi.
Memang saya tidak berpoto dengan pesawat, dan tidak juga ambil ambar dalam pesawat. Bukan karena malu, hanya khawatir dikira mau pamer. Tapi saya tidak kehabisan akal, saya pamer dengan cara yang lain, yaitu ditulis. Biar terkesan elegan.
Di Jambi, semua hal ihwal persyaratan naik pesawat saya penuhi dengan relatif mudah. Beli tiket, datang ke RS Baiturrahim, lalu di “cucuk” lubang hidung sampai ke tenggorokan, berlinang air mata di dalam, kemudian ditutup dengan bersin. Tahapan berikutnya, ujung alat PCR yang mirip dengan korek kuping berputar-putar di pangkal lidah. Alhamdulilah, hasilnya negative. Saya diizinkan terbang.
Tapi di Jakarta, bagi orang dusun seperti saya, semua urusan macam senar pancing PE dilarikan belut ke akar pohon pinang. Kusut, semrawut, kacau balau, cemas dan takut nyasar. Sudah lama merantau, tapi mental masih saja penakut. Ambil kopi direstoran penginapan tidak berani, takut salah pencet, mesinnya meledak, air kopi melimpah, lalu kena marah petugas.
Buka kamar penginapan berkali-kali, baru terbuka. Ternyata kartunya terbalik. Mandi saja harap-harap cemas, khawatir salah putar, keran lepas, air panas tidak pas, conditioner dikira sabun cair, ditambah lagi pencetan selang wc duduk keras, salah salah muncratnya kekencangan. Akibatnya, mut buang air hilang seketika.
Tapi nanti ketika sampai di dusun, seolah-olah “sayalah jagoannya”. Sok pengalaman, bahkan kadang sok menggurui. Pokonya sok-sokanlah.
Kisahnya saya singkat; hari pertama berjalan aman, karena kegiatan hanya dalam ruangan. Hari kedua keliling-keliling melihat Ibu Kota dan mencari warung kopi. Dalam map, estimasi sampai ke tempat tujuan 20 menit, tapi nyatanya, satu jam lebih baru sampai.
Saya mengunjungi empat tempat di Jakarta, yang jarak tempuh nya kalau di Jambi paling-paling 1 jam (jika dikalikan semua). Sementara di Jakarta, empat tempat itu memakan waktu satu hari. Satu hari di Jakarta, serasa satu bulan. Dikali tiga, sama dengan 3 hari di jakarta. Pak Anis memang cocok jadi Gubernur Jakarta. Wajar saja dulu Ahok sering ngamuk.
Di hari ke 3 di Jakarta, tadinya saya merasakan kesia-siaan, karena waktu dihabiskan hanya dalam kamar penginapan. Tapi ternyata, prediksi itu salah. Saya bisa memanfaatkan waktu untuk mengerjakan beberapa hal dengan laptop. Dari pagi sampai waktu zuhur.
Setelah zuhur saya menonton film serial drama, judulnya The Good Doctor. Film yang sebenarnya sudah lama ingin saya tonton, tapi tidak ada waktu. Di penginapan, saya tamatkan 7 episode.
Bagi yang sudah nonton, skip saja alur kisah yang ini.
Film The Good Doctor sangat menginspirasi. Banyak pesan yang bisa diambil. Misalnya, kekurangan dalam diri seseorang, tidak berarti dirinya tidak bermanfaat. Pemeran utama dalam film tersebut adalah Freddie Higmore yang berperan sebagai seseorang yang autis. Dalam film, namanya Shaun Murphy, dibully sejak kecil, namun ia membuktikan diri bisa menjadi serorang ahli bedah yang menjadi perantara keselamatan banyak nyawa.
Berikutnya, Shaun adalah anak yang baik, tapi karena autis, ia tidak pandai berkomunikasi seperti orang kebanyakan. Dia ahli dalam bedah-membedah, tapi sayang, dia tidak pandai berbohong. Padahal berbohong merupakan keahlian yang sangat dibutuhkan dan penting untuk diterapkan. Terutama bagi seseorang yang banyak memiliki peran dalam kehidupan. Selebihnya, silahkan teman-teman tonton sendiri. Dijamin tidak nyesal.
Sampai pada akhirnya perut terasa mual. Lalu saya hentikan menonton dan dilanjutkan dengan menulis tulisan ini. Karena jika tidak mencari aktifitas, besar kemungkinan saya tertidur. Jika terlelap, mungkin malam ini akan dihabiskan tanpa tidur. Apabila tanpa tidur, khawatir akan terlambat bangun keesokan harinya. Jika terlambat bangun, risiko tertinggal pesawat kembali ke Jambi akan meningkat.
Sebelumnya saya pesan tiket jam 11.45, wanti-wanti ketinggalan pesawat kalau pesan penerbangan pagi. Karena laju mobil di Ibu Kota macam siput makan busi. Namun, tiket yang tadinya jam 11.45 dialihkan ke jam 07.55. Tidak apa-apa, karena insya Allah saya sudah menyusun strategi.
Setelah menulis ini, saya akan makan malam di warung depan penginapan. Teman-teman pembaca tidak usah bertanya terlalu detail pada bab ini. Tapi kalau pertanyaannya hanya sebatas mengapa, saya akan jawab. “karena saya lihat, menu makanan di warung depan lebih sesuai dengan selera saya”. Dan saya yakin, jika sudah persoalan selera, tidak akan ada lagi perdebatan.
Begitulah kira-kira, 3 hari di Jakarta serasa 3 Bulan.
Salam Kalam Literasi
Fajri Al Mughni
Jakarta, 28 Oktober 2021